Referensi
Pengertian dan Ketentuan Nadzar
Nadzar secara bahasa adalah janji (untuk melakukan hal) baik atau buruk. Sedangkan nadzar menurut pengertian syara’ adalah menyanggupi melakukan ibadah (qurbah; mendekatkan diri kepada Allah) yang bukan merupakan hal wajib (fardhu ‘ain) bagi seseorang.
Dalam Fath Al-Qorib disebutkan, nadzar adalah:
اِلْتِزَامُ قُرْبَةٍ غَيْرِ لاَزِمَةٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ
“Mewajibkan suatu bentuk ketaatan yang berdasarkan syariat asalnya tidaklah wajib.”
Dengan demikian, perkara yang dapat dinadzarkan adalah perkara yang dihukumi oleh syara’ sebagai perbuatan sunnah atau fardlu kifayah. Dimana efek dari pelaksanaan sebuah Nadzar adalah perkara yang asalnya dihukumi sebagai sunnah atau fardhu kifayah menjadi hal yang wajib baginya.
Rukun nadzar :
1. Naadzir (orang yang bernadzar) : berakal, baligh, ikhtiyar (atas pilihan sendiri);
2. Mandzur bihi (syarat) : qurbah lam tata’ayyan;
3. Shighah: lafaz yang menyatakan mewajibkan diri.
Syarat perkara yang dijadikan nadzar (al mandzur bihi) :
a. Perkara ibadah. Seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sadaqah. Perkara yang bukan bersifat ibadah seperti perkara maksiat atau perkara mubah (seperti makan dan minum) tidak sah nadzarnya;
b. Harta yang dijadikan nadzar harus menjadi hak milik pelaku nadzar saat bernadzar;
c. Bukan perkara fardhu atau wajib. Seperti shalat 5 waktu atau puasa Ramadan.
Shighah: lafaz yang menyatakan mewajibkan diri.
Menurut Al Mardawi seorang ulama Habali dalam Al Inshaf terkait dengan Nadzar berkata: “Nadzar tidak sah kecuali dengan diucapkan. Jika berniat, namun tidak dia ucapkan, tidak sah Nadzarnya, tanpa ada perbedaan pendapat.” (Al Inshaf, 11/118).
Berdasarkan An Nawawi dalam syarah muhadzab: “Apakah Nadzar sah semata dengan niat, tanpa diucapkan (yang kuat) berdasarkan sepakat ulama madzhab syafii, bahwa tidak sah Nadzar kecuali diucapkan. Niat semata, tidak bermanfaat (tidak dianggap).” (Al Majmu’ Syarh Muhadzab, 8,451).
Hukum menunaikan/melaksanakan nadzar
1. Nadzar taat dan ibadah, hukumnya wajib ditunaikan dan bila dilanggar harus membayar kaffarah (tebusan).
2. Nadzar mubah, yaitu berNadzar untuk melakukan suatu perkara yang mubah/diperbolehkan dan bukan ibadah maka boleh memilih melaksanakannya atau membayar kafarah. Sebagian ulama bahkan membolehkan untuk tidak menunaikan nadzarnya dan tidak perlu membayar kafarah (tebusan).
3. Nadzar maksiat, Nadzarnya sah tapi tidak boleh dilaksanakan dan harus membayar kaffarah. Sebagian ulama berpendapat tidak perlu membayar kafarah (tebusan) berdasarkan hadits Nabi: “ Tidak ada nadzar dalam maksiat pada Allah" (HR Muslim).
Dalam hadits disebutkan,
وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.” (HR. Bukhari, no. 6696)
4. Nadzar makruh, yaitu berNadzar untuk melakukan perkara yang makruh maka memilih antara melaksanakannya atau membayar kaffarah.
5. Nadzar syirik, yaitu yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah maka Nadzarnya tidak sah dan tidak ada kaffarah, akan tetapi harus bertaubat karena dia telah berbuat syirik akbar.
Hukum mengingkari Nadzar
Apabila orang yang bernadzar tidak melakukan nadzarnya baik karena tidak mampu atau tidak mau, maka konsekuensinya melihat dulu jenis nadzarnya apakah termasuk nadzar ibadah, mubah, maksiat, makruh atau syirik.
Barangsiapa yang berNadzar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka Nadzar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah. Kafaroh sumpah adalah memilih satu diantara tida hal ini :
(a) memerdekakan satu orang budak mukmin; atau
(b) memberi makan sepuluh orang miskin setiap miskin satu mud dari makanan pokok di negerinya; atau
(c) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin masing-masing satu pakaian (kemeja, serban, khimar, baju, tidak mesti baru, yang penting kualitasnya tidak hilang); atau
(d) jika tidak menemukan dari tiga hal tadi, maka berpuasa selama tiga hari (tidak disyaratkan berturut-turut).
Dalil tentang kafarat sumpah adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)
Dalil yang Menunjukkan Terlarangnya Memulai Bernadzar
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernadzar, beliau bersabda: ‘Nadzar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Janganlah bernadzar. Karena Nadzar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1640)
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ قَدَّرَهُ لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ
“Sungguh Nadzar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil Nadzar itulah yang Allah takdirkan. Nadzar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang berNadzar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan. ” (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)
Pendapat jumhur (mayoritas ulama) memakruhkan bernadzar. Akan tetapi, jika terlanjur mengucapkan, maka Nadzar tersebut tetap wajib ditunaikan.
Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Menunaikan Nadzar
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan Nadzar-Nadzar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 270)
Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menunaikan Nadzarnya,
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)
“Mereka menunaikan Nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 7)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernadzar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nadzar tersebut. Barangsiapa yang berNadzar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Dari ‘Imron bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
خَيْرُكُمْ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ – قَالَ عِمْرَانُ لاَ أَدْرِى ذَكَرَ ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا بَعْدَ قَرْنِهِ – ثُمَّ يَجِىءُ قَوْمٌ يَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ ، …
“Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang berada di generasiku, kemudian orang-orang setelahnya dan orang-orang setelahnya lagi. -‘Imron berkata, ‘Aku tidak mengetahui penyebutan generasi setelahnya itu sampai dua atau tiga kali’-. Kemudian datanglah suatu kaum yang berNadzar lalu mereka tidak menunaikannya, …. ” (HR. Bukhari no. 2651). Hadits ini menunjukkan berdosanya orang yang tidak menunaikan Nadzar.
Posting Komentar
0 Komentar