Matan Taqrib (3) : Macam-Macam Air
Pada pertemuan ketiga Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib
melanjutkan pembahasan tentang macam-macam Air. Jika pada bagian kedua membahas
tentang air mutlak, maka pada bagian ini dijelaskan tentang macam-macam air dan
hukumnya ketika digunakan untuk bersuci.
***
Matan al-Ghayah wa
at-Taqrîb disusun oleh Syekh
Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Asfihâni atau dikenal dengan al-Qâdhi Abu
Syuja’ (433-593 H). Dalam sebagian naskah, kitab ini dinamakan dengan “Matan
Taqrîb”, dan sebagian naskah lainnya dinamakan “Ghâyatul Ikhtishâr”.
Sesuai dengan namanya, kitab ini disusun dengan sangat ringkas, bahasanya tidak
terlalu sulit, tidak memuat banyak perbedaan pendapat.
***
ثُمَّ
الِميَاهُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ : طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ غَيْرُ مَكْرُوْهٍ
وَهُوَ الماءُ المطْلَقُ ، طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ وَهُوَ الماءُ المشَمَّسُ
، وَطَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ ؛ وَهُوَ الماءُ المسْتَعْمَلُ ، والمتَغَيِّرُ
بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ ، وَمَاءٌ نَجِسٌ وَهُوَ الَّذِي حَلَّتْ
فِيْهِ نَجَاسَةٌ وَهُوَ دُوْنَ القُلَّتَيْنِ أَوْ كَانَ قُلَّتَيْنِ فَتَغَيَّرَ
، وَالقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ رِطْلٍ بَغْدَادِيِّ تَقْرِيْباً فِي الأَصَحِّ
Kemudian, air itu dibagi menjadi empat:
Pertama: Air thohir muthohhir ghoiru makruh, air yang
suci dan menyucikan serta tidak makruh untuk bersuci. Air ini disebut juga air
muthlaq.
Kedua: Air thohir muthohhir makruh, air yang
suci, tetapi makruh untuk menyucikan, yaitu air musyammas.
Ketiga: Air thohir ghoiru muthohhir, air yang
suci, tetapi tidak menyucikan, yaitu: (a) air musta’mal, dan (b) air yang
berubah karena bercampur dengan sesuatu yang suci.
Keempat: Air najis, yaitu
air yang kemasukan najis dan air tersebut kurang dari dua qullah atau air
tersebut sudah mencapai dua qullah lantas berubah.
Air dua qullah adalah air berukuran 500 rithl Baghdad berdasarkan
pendapat paling benar.
CATATAN
Thaharah memerlukan air yang digunakan sebagai sarana untuk
menghilangkan najis dan hadats. Air yang bisa digunakan untuk bersuci disebut
dengan al-Ma' ath-Thahur, yaitu air yang suci pada dirinya (ath-Thahir
fi Dzatihi) dan menyucikan untuk selainnya (al-Muthahhir li Ghairihi).
Air pada dasarnya suci dan mensucikan, berdasarkan hadits:
عن
أنس بن مالك رضي الله عنه قال: «جاء أعرابِيُّ، فبَالَ في طَائِفَة المَسجد،
فَزَجَرَه النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النبِيُّ ﷺ فَلمَّا قَضَى بَولَه أَمر النبي ﷺ بِذَنُوب من ماء، فَأُهرِيقَ عليه».
Dari Anas bin Malik (رضي الله عنه), ia berkata,
"Seorang Arab Badui datang lalu kencing di salah satu sudut masjid. Maka
orang-orang membentak dan berusaha mencegahnya. Lantas Nabi ﷺ melarang
mereka. Setelah lelaki itu menyelesaikan kencingnya, beliau pun memerintahkan
untuk mengambil satu ember air kemudian disiramkan pada bekas kencingnya."
Air musyammas adalah
air yang dipanaskan dalam bejana logam dengan memakai panas matahari. Menurut
sebuah pendapat, sebab kemakruhannya adalah karena bisa menyebabkan penyakit
kusta atau lebih. Hukum makruhnya hanya berlaku jika digunakan untuk badan di
negeri yang panas, seperti Hijaz.
Air musta'mal adalah
air yang telah dipakai (bekas) untuk menghilangkan hadats. Dalil kesuciannya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah
(رضي الله
عنه),
dia berkata, "Rasulullah mendatangiku ketika aku sakit dan hampir tak
sadarkan diri. Beliau berwudhu dan menuangkan air bekas wudhunya kepadaku."
Maksud hampir tak sadarkan diri adalah karena parahnya sakit yang diderita.
Jika airnya tidak suci, maka beliau tidak akan menuangkannya kepada Jabir bin
Abdillah.
Dalil bahwa air musta'mal tidak menyucikan adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim dan selainnya dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
لاَ
يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di air
yang tergenang (tidak mengalir) ketika dalam keadaan junub. Para sahabat
bertanya, "Wahai Abu Hurairah, apa yang harus dilakukan?" Dia
menjawab, "Orang tersebut harus mengambil air seciduk demi seciduk."
Hadits ini menunjukkan bahwa mandi di air tersebut akan menghilangkan
kesuciannya. Jika hukumnya tidak seperti itu, maka ia tidak akan dilarang. Hukum
wudhu dalam hal ini sama dengan hukum mandi karena hakikatnya sama, yaitu
menghilangkan hadats.
Termasuk air suci namun tidak menyucikan adalah air yang berubah
karena
bercampur dengan benda-benda suci lainnya. Benda suci di sini maksudnya
adalah benda yang biasanya tidak dibutuhkan oleh air dan tidak mungkin memisahkannya
jika telah bercampur dengan air. Misalnya misk, garam, dan lainnya. Semua
ini tidak menyucikan karena ia tidak dinamakan air lagi dalam
keadaan seperti ini.
Mengenai air yang jumlahnya tidak sampai 2 qullah, imam hadits
yang
lima meriwayatkan dari Abdullah bin Umar (رضي الله عنه), dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah ﷺ bersabda ketika beliau ditanya tentang
air yang berada di padang pasir yang diminum oleh binatang-binatang
buas dan binatang-binatang ternak. Beliau menjawab,
إِذَا
كَانَ اَلْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ اَلْخَبَثَ
“Jika
airnya mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis.”
Dalam
Lafazh Abu Dawud dikatakan, "Ia tidak menjadi najis.
Kesimpulan hadits ini adalah jika air tidak sampai dua qullah,
maka ia menjadi najis walaupun tidak berubah. Pemahaman ini ditunjukkan oleh
hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah (رضي الله عنه) bahwa Nabi ﷺ bersabda,
إِذَا
اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْا يَغْسِ يَدَهُ فِي الإِنَاءِ حتى يَغْسِلَهَا
ثَلاَثًا فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
Jika salah seorang di antara kalian bangun
dari tidurnya, maka janganlah memasukkan tangannya ke dalam bejana sampai mencucinya
tiga kali karena dia tidak tahu di mana tangannya bermalam.
Orang yang bangun tidur dilarang memasukkan tangannya ke dalam bejana
karena khawatir tangannya kotor oleh najis yang tidak kelihatan. Sebagaimana
diketahui, najis yang tidak kelihatan tidak akan menyebabkan air
berubah. Jika bukan karena najis yang tidak kelihatan itu menyebabkan
air menjadi najis hanya dengan persentuhannya, maka hal ini tidak akan
dilarang.
Dalil najisnya air yang bercampur benda najis dan jumlahnya tidak sampai
dua qullah atau mencapai dua qullah namun berubah adalah ijma'. Dikatakan dalam
Al-Majmu' bahwa Ibnul Mundzir mengatakan, "Para ulama bersepakat
bahwa air yang sedikit atau banyak jika bercampur dengan najis, kemudian
mengubah rasa, warna, atau baunya, maka air itu najis." Adapun hadits,
اَلْمَاءُ
طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَيَّرَ لَوْنَهُ اَوْ رِيحِهِ
“Sesungguhnya air tidaklah dinajiskan oleh sesuatu pun selain
yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya.”
Hadits ini dhaif sekali. Imam Nawawi (رضي الله عنه) mengomentarinya,
"Tidak sah berhujjah dengan hadits ini." Dia melanjutkan, "Imam
Syafi,I menukil kedha'ifannya dari ulama yang ahli dalam bidang hadirs..”
Adapun 2 qullah kira-kira sepadan dengan 190 liter atau luas kubus
yang panjang sisinya 58 cm.
Posting Komentar
0 Komentar