Matan Taqrib (7) : Fardhu Wudhu

Pada Pertemuan ketujuh Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib mengulas tentang rukun/fardhu wudhu yang terdiri dari enam macam. Rukun/fardhu wudhu adalah hal yang harus ada dalam wudhu dan tidak boleh terlewatkan. Jika terlewat atau sengaja tidak ditunaikan, maka wudhu-nya menjadi batal/tidak sah.

 

***

Matan al-Ghayah wa at-Taqrîb disusun oleh Syekh Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Asfihâni atau dikenal dengan al-Qâdhi Abu Syuja’ (433-593 H). Dalam sebagian naskah, kitab ini dinamakan dengan “Matan Taqrîb”, dan sebagian naskah lainnya dinamakan “Ghâyatul Ikhtishâr”. Sesuai dengan namanya, kitab ini disusun dengan sangat ringkas, bahasanya tidak terlalu sulit, tidak memuat banyak perbedaan pendapat.

***

 

 

FARDU WUDHU

 

وَفُرُوْضُ الوُضُوْءِ سِتَّةُ أَشْيَاءَ: النِّيَّةُ عِنْدَ غَسْلِ الوَجْهِ وَغَسْلُ الوَجْهِ وَغَسْلُ اليَدَيْنِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ وَمَسْحُ بَعْضِ الرَّأْسِ وَغَسْلُ الرِّجْلَيْنِ إِلَى الكَعْبَيْنِ وَالتَّرْتِيْبُ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ

 

Rukun (fardhu) wudhu ada enam: 1) Niat ketika membasuh muka; 2) Membasuh muka; 3) Membasuh kedua tangan sampai siku; 4) Mengusap sebagian kepala; 5) Membasuh kedua kaki sampai mata kaki; dan 6) Tertib (berurutan) sesuai dengan yang telah kami sebutkan.

 

CATATAN:

Dasar disyariatkannya wudhu dan penjelasan tentang rukun-rukunnya adalah firman Allah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah [5]: 6)

 

Siku adalah bagian yang terdapat di antara lengan dan otot; sedangkan mata kaki adalah dua tulang yang menonjol di kedua sisi, yaitu di antara pergelangan betis dan kaki. Dua kata (إِلَى) terakhir dalam ayat di atas berarti (مع), yaitu ikut/masuk ke bagian yang dibasuh. Oleh karena itu, dua siku dan dua mata kaki masuk ke dalam bagian yang wajib dibasuh. Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. bahwa dia berwudhu. Kemudian dia membasuh mukanya dan menyempurnakannya. Kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke otot (siku), lalu tangan kirinya sampai ke otot (siku). Kemudian mengusap kepalanya. Kemudian membasuh kaki kanannya sampai ke betis, lalu kaki kirinya sampai ke betis. Kemudian dia berkata, "Beginilah saya melihat Rasulullah berwudhu."

 

Sampai ke otot dan sampai ke betis artinya, keduanya masuk ke dalam bagian yang dibasuh.

 

Kepalamu artinya adalah bagiannya. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya dari Al-Mughirah r.a. bahwa Nabi berwudhu, kemudian mengusap bagian depan kepalanya dan di atas surban.

 

Bagian depan kepalanya adalah bagian dari kepala. Cukup dengan mengusapnya adalah dalil bahwa yang diwajibkan adalah mengusap bagiannya. Yang demikian itu bisa dengan mengusap bagian mana saja.

 

Dalil yang menunjukkan diwajibkannya niat di awalnya (begitu juga di setiap tempat yang diperintahkan berniat) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khatab r.a. bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda, “Amalan-amalan itu sesuai dengan niatnya." Artinya, amalan itu tidak akan dianggap secara syar'i kecuali jika Anda meniatkannya.

 

Dalil yang menunjukkan diharuskannya tertib adalah perbuatan Nabi berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Di antaranya adalah hadits Abu Hurairah r.a. sebelumnya.

 

Di dalam Al-Majmu’ disebutkan, "Para sahabat berhujjah dengan hadits-hadits shahih yang bersumber dari sejumlah besar sahabat tentang tata cara wudhu Nabi semuanya menggambarkan bahwa wudhu Rasulullah itu tertib. Padahal, jumlah mereka banyak, tempat mereka menyaksikan beliau melakukannya banyak, dan perbedaan tentang bilangannya apakah sekali, dua kali, atau tiga kali dan selainnya juga banyak. Akan terapi, tidak ada yang menyarakan [walaupun terdapat perbedaan yang bersifat variatif], tata cara yang tidak tertib. Perbuatan Nabi adalah penjelasan tentang wudhu yang diperintahkan. Seandainya berwudhu dengan tidak tertib itu dibolehkan, tentulah beliau meninggalkan sebagian keadaan untuk menjelaskan kebolehannya, sebagaimana beliau meninggalkan pengulangan bilangan wudhu di beberapa waktu.


Posting Komentar

0 Komentar